"Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi" (Arvan Pradiansyah)
Saya bukan pemerhati politik, bukan partisan, apalagi bercita-cita jadi politisi. Ini hanya curcol para anggota DW group di bbm yang sambil begadang nunggu suaminya pulang rapat dengan anggota dewan, jadwal rapat jam 7 malam baru dimulai jam 4 subuh esok harinya. Alhasil ga pulang ke rumah dan lanjut lagi rapatnya :(. Jika dibilang risiko pekerjaan, benar, tapi jika rapatnya molor begitu panjang, ngapain aja yah wakil rakyatku itu (kita-kita rakyat lho).
Sedih ga sih baca bbm gini subuh-subuh "aku ga tidur, begadang semalaman, anak ku panas nanyain ayah nya terus" duhh andaikan anaknya ngerti, ayahnya menghabiskan waktu semalaman untuk menunggu wakil rakyat untuk memulai rapat, apa yang dia pikirkan dan katakan yah? Atau dia bercita-cita jadi politisi juga karena bisa seenaknya (Oh Nooo :)) )
Menjadi anggota dewan bukan lagi suatu kebanggaan, koran harian "R" pernah menulis, keluarga para wakil rakyat banyak yang malu jika anggota keluarga mereka menjadi anggota dewan, sampai seorang anak politisi senior berkata langsung "papa apa ga malu jadi anggota DPR? (Nyesek ga sih dengarnya, yang ngomong anak sendiri gitu lho), ini karena yang terlihat oleh masyarakat mereka bekerja bukan demi rakyat tapi "menyakiti" rakyat, kasus korupsi, studi banding, anggaran ini dan itu yang di luar budget, video porno dan lain-lain.
Oh ya boleh ya saya mau cerita sedikit pengalaman pribadi, kutipan tulisan pembuka diatas merupakan judul buku Arvan Pradiansyah, saya dari dulu nge-fans dengan tulisan dan buku-buku beliau saking sukanya begitu selesai membaca buku The 7 laws of Happiness karena merasa tercerahkan saya langsung email beliau dan besoknya langsung dibalas, seneng bangett. Nah pada saat buku beliau akan terbit yang berjudul "Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi" saya diemail, begitu baca judul bukunya yang terpikir oleh saya "berani banget Pak AP bikin judul yang provokatif begini apa ga takut di protes para politisi?" Kemudian saya balas email beliau saya tanya "Pak ga takut para anggota dewan dan politisi lain marah?" Email saya di balas "Yang saya takutkan malah mereka tidak marah atau introspeksi setelah baca buku ini" Woww jika saya ada di depan AP pasti saya langsung keplok tangan, berdiri lalu bilang "You are right sir" he he. Tapi kenyataanya seperti itu sepanjang yang saya tau tidak ada politisi yang marah atau membahas buku ini. Keadaan tidak berubah kelakuan para politisi malah semakin keluar dari aturan dan etika.
Buku ini bagus, ceritanya mengalir dan bukan hanya hanya berdasarkan asumsi tapi fakta, ga mungkin jika hanya menuduh AP mau mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai pembicara, fasilitator, penulis, dan pemilik bisnis. Nih saya kutip sebagian di salah satu tulisan beliau yang bagi saya oke banget berjudul
"Poli+Tikus"
Harold Laswell merumuskan politik yaitu : Who gets What, When, and How. Politik adalah siapa, mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Perpolitikan Indonesia adalah contoh yang terang benderang mengenai apa yang dikatakan Laswell. Yang dilakukan para politisi, hanya berkisar pada peta kekuasaan dan pembagian kue setelah pemilu. Kekuasaan telah menjadi sekedar "makanan" yang dipeributkan.Dan tidak ada yang lebih penting dalam politik selain hanya menjadi pemenangnya. Para pemenang inilah yang akan menciptakan sejarah, sementara orang yang kalah akan segera masuk kotak dan dilupakan orang. Politik yang hanya mementingkan 3 W 1 H ini sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan orang banyak, tetapi hanya berhubungan dengan kepentingan pihak-pihak yang bertikai. Politik yang demikian sama sekali tidak spritual dan hanya menempatkan para pelakunya menjadi political animal (hewan politik). Rumus dalam politik memang hanya satu :Kepentingan. Dalam politik, memang tak ada kawan sejati dan musuh abadi yang ada hanya kepentingan. Segala sesuatu selalu berubah. Yang tetap hanyalah Tuhan karena itu, kalau mau selamat, maka kita harus berpegang pada sesuatu yang tetap, yaitu Tuhan. Nah, di dalam politik segala sesuatu bisa berubah dalam waktu singkat. Yang tetap hanyalah kepentingan. Dengan demikian, kepentingan sebenarnya telah menjadi TUHAN bagi para politikus.
Apakah semua politikus/politisi seperti itu? Saya akan menjawabnya dengan sangat tegas : YA. Semua politikus
Seperti itu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tuhan mereka bernama Kepentingan. Tapi, kan ada politikus yang baik, demikian kata anda. Baiklah, kalau begitu saya ingin mengatakannya dengan lebih keras lagi. Tidak ada politikus yang memikirkan kepentingan orang lain. Kalaupun ada beberapa orang yang memikirkan orang lain, mereka sesungguhnya bukanlah politikus. Mereka adalah NEGARAWAN.
Thomas Jefferson punya definisi yang sangat baik mengenai politikus dan negarawan ini. Politikus memikirkan pemilihan yang akan datang, sementara negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Oke khan tulisannya Pak Arvan, nah buat yang mau, sedang, atau telah jadi politisi baca deh buat referensi, ga rugii lagee. Buat para anggota DW ntar malam jika "Laskar Jihad" ga pulang ngelenong yukkss ˆ⌣ˆ ˆ⌣ˆ
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar