Barusan nonton podcast yang nara sumbernya Falla Adinda, seorang dokter, penulis, influencer, pecinta olahraga, selebgram, yang tulisannya dari dulu udah tak baca di blog. Dokter Falla ini setahun lalu di diognosa terkena kanker payudara stadium awal, status tersebut di ceritainnya di story dan feed Ig, yang membuat berbeda, cara menyikapinya sungguh unik, entah karena basic nya dokter dia udh tau apa yang harus dilakukan dan risikonya atau emang anaknya seunik dan selucu itu.
Sebelum kemo dia udh janji untuk sulam alis biar kelak ketika kemo dan rambutnya rontok dia masih ada alis dan kelihatan cantik, saya tersenyum sungguh out of the box cara yang manis menyikapi kesedihan hidup. Falla ini selama sakit dia tetap olahraga dan dia mengkampanyekan bahwa kanker itu sama aja seperti sakit lain, jadi dia pengen orang bersikap normal aja kepadanya. Kenyataannya sewaktu dia di diagnosa kanker teman2nya banyak menghilang dengan alasan bingung mau ngobrol apa, takut bikin sedih, padahal dia butuh orang yang diajak bicara secara normal kehidupan seperti biasa aja.
Bagi saya ini ilmu baru, karena yang saya lakukan sama seperti teman Falla sewaktu ada teman yang kanker setiap saya mau chat wa menanyakan kabar saya bingung apakah ini menganggu atau bikin dia tersinggung atau gimana. Karena selama ini yang saya tau orang yang sakit kanker itu pada awalnya tertutup trus klo kita tanya2 kabarnya mereka jadi sedih. Ternyata ini salah. Sakit kanker sama seperti sakit lain, stigma yang berkembang di masyarakat yang membuat penyakit ini menjadi angker dan orang menghadapinya pun menjadi suram dan penuh ketakutan. Padahal jika ujungnya kematian semua orang hidup pun akan mati. Endingnya sama jalannya saja yang berbeda.
Pemaknaan Falla terhadap sakit ini juga bagus, dia udah pengerti pesan yang Allah sampaikan " kita ini kecil mudah aja bagi Allah untuk mengambil segalanya dari kita, seperti saya dalam 1X24 jam hidup saya berubah dari dokter menjadi pasien. Saya sekarang sangat mindfull menghadapi hari perhari, tidak lagi memikirkan hari esok, karena bisa jadi hari esok sudah berganti cerita. Saya yang dulu bukan seperti ini penuh rencana jangka panjang, jika mau melakukan sesuatu ntar ah besok aja"
Sungguh mengharu biru mendengar ceritanya walau dia bercerita masih tetap dengan manis hanya sedikit menangis.
Satu hal lagi yang jadi catatan saya, Falla mengatakan yang harus diperhatikan itu bukan hanya pasien saja tapi juga care giver. Merawat pasien itu efeknya juga sakit, walau yang sakit perasaan. Kadang mereka juga ningung berbuat apa, belum lagi kelelahan.
Itu benar adanya dan Alhamdullah terjawab lah pertanyaan saya selama ini. Saya merawat mama intensif hampir 4 tahun. Mama umur 80, untuk beraktivitas memakai rolator dan harus dibantu, sudah dua kali operasi tulang, terakhir tahun lalu operasi syaraf. Tahun lalu saya merasa aneh dengan emosi saya, seperti marah tapi tidak tau kenapa. Cape tapi di bawa istirahat juga tidak hilang. Kesel tapi bingung sama siapa. Sempat curhat dengan suami karena dia juga tidak tau hanya di jawab sabar, ini peluang surga.
Saya tidak menampik ini sebagai ladang surga bentuk ketaatan saya kepada Allah dalam rangka mematuhi perintah Allah, birulwalidaian. Secara sadar saya juga mengambil keputusan untuk merawat mama dan meninggalkan kesibukan yang lain.
Yang saya tidak mengerti kenapa emosi saya kacau, biasanya ini datangnya jika Pms. Sekarang saya baru sadar care giver juga rentan menjadi sakit.
Beruntung Falla yang mengerti kondisinya hingga ketika sakit ia menitip suaminya kepada teman-temannya, menitip dengan maksud tolong beri perhatian karena dia lagi sakit mungkin tidak bisa memberi perhatian secara penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar