Berapa tahun lalu saya sering mendengar istilah sadwich generation (SG) disalah satu sosmed seleb perencanaan keuangan, karena ga ngerti itu istilah apa berusaha nyari di google.
Ini hasil pencarian saya di google
"Orang-orang yang ada dalam situasi terjepit karena dituntut untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan anaknya di waktu bersamaan. Situasi seperti ini kerap kali menyebabkan seseorang merasa frustasi bahkan mengalami kesulitan ekonomi".
Setelah baca ini saya merasa sedih, berarti saya generasi SG karena membantu ortu dan keluarga dalam hal financial. Cuman saya ga merasa frustasi, klo merasa uang jadi habis dan hidup jadi semakin pas2an sih iya.
Pemahaman ini menguap begitu aja dan saya menjalani hidup saya seperti biasa. Penghasilan kami lumayan untuk golongan menengah, habis untuk kebutuhan keluarga dan membantu keluarga yang kesulitan ekonomi baik dari pihak saya dan suami.
Pernah kepikiran wah gimana nih ga punya tabungan, boro2 dana pensiun, dana darurat aja ga punya, apalagi investasi. Saat saya membicarakan dengan suami, ga usah khawatir uang klo habis itu tandanya akan datang lagi, bagi saya mending uang habis daripada melihat keluarga yang kesulitan ga bisa di bantu terutama orang tua.
Walau sedikit menyanggah saya akhirnya manut dengan prinsip suami itu.
Makanya ketika ada yang membahas SG dimanapun, rasanya saya ingin tutup kuping, saya pengen bilang iya saya benar membantu keluarga dan keuangan saya tidak perfect tapi saya tidak ingin di katakan generasi SG yang frustasi.
Empat tahun intens menjaga mama dari yang mulai bisa jalan sampai hanya bisa tiduran saja, dari satu operasi ke operasi lainnya, saya mengambil keputusan full merawat mama dan meninggalkan kerjaan saya atas dasar birrul Walidaian (BW), keuangan kami seperti biasa pas setiap bulan, bahkan pernah bingung ketika operasi memakan biaya ratusan juta dan tidak di cover BPJS. Tapi akhirnya Allah mudahkan.
Beberapa bulan saya intens mendengar kajian Riyadush Shalihin bab Birulwalidain oleh ustad Nudzul Zikri, pemahaman saya bertambah, dalam Islam tidak istilah SG yang ada istilah BW.
Kesimpulan pribadi saya yang belum bisa saya buktikan ketika nanti saya tua bagaimana, karena sekarang kami masih bekerja dan belum pensiun, ini hanya kesimpulan sementara ketika usia kami menjelang 50 an. Ga usah takut uang habis karena membantu orang tua, jika kita membantunya dengan ikhlas, Allah ridho, insya Allah ada saja rezeki dan jalan dalam memenuhi kehidupan. Bukankah segala yang kita keluarkan termasuk investasi, investasi akhirat yang nanti akan kita panen di yaumul akhir.
Saya hanya ingin berbagi insight jika diluar sana ada yang berpikiran sama. Khawatirnya karena istilah SG lebih gencar di gaungkan maka makna BW menjadi hilang.
Tapi saya setuju dengan merencanakan keuangan yang baik jika kita berpenghasilan, terus masih bisa berbagi dan masih bisa menabung, dengan situasi seperti ini maka ikutilah skema perencana keuangan setidaknya hati menjadi tenang jika ada kebutuhan darurat.
Saya pernah menemui berapa kali cerita, seorang anak yang lebih mengutamakan menata keuangan dengan sebaiknya dengan mengenyampingkan kewajiban menafkahi orang tua yang tidak mampu dengan alasan tidak mau menjadi generasi SG dan merasa malu karena terlahir sebagai generasi SG dan bercita-cita memangkas generasi SG untuk anak keturunannya dengan melakukan perencana keuangan sebaik mungkin.
Untuk hal ini saya cuman mau bilang terlalu banyak kejadian di depan mata bahwa kenyataan tidak seperti rencana. Udah merencanakan plan A ternyata ada musibah penyakit atau bencana alam yang menimpa hingga memporak porandakan keuangan yang telah disusun. Bukankah pandemi covid selama 3 tahun mengajarkan kita banyak hal? Baik dari segi tauhid maupun tawakal.
Tetap kejar berkah dan lakukan apa yang Allah syariatkan soal hasil bagaimana perkuat tawakal dengan ikhtiar tetap jalan terus.
Tulisan ini buat saya juga, yang kadang hati lemah jika tergoda pesona dunia apalagi sosmed yang menaburkan kehidupan menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar