Jumat, 22 Juli 2011

Politisi (Dalam Curhat DW Group ˆ⌣ˆ )


"Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi" (Arvan Pradiansyah)

Saya bukan pemerhati politik, bukan partisan, apalagi bercita-cita jadi politisi. Ini hanya curcol para anggota DW group di bbm yang sambil begadang nunggu suaminya pulang rapat dengan anggota dewan, jadwal rapat jam 7 malam baru dimulai jam 4 subuh esok harinya. Alhasil ga pulang ke rumah dan lanjut lagi rapatnya :(. Jika dibilang risiko pekerjaan, benar, tapi jika rapatnya molor begitu panjang, ngapain aja yah wakil rakyatku itu (kita-kita rakyat lho).
Sedih ga sih baca bbm gini subuh-subuh "aku ga tidur, begadang semalaman, anak ku panas nanyain ayah nya terus" duhh andaikan anaknya ngerti, ayahnya menghabiskan waktu semalaman untuk menunggu wakil rakyat untuk memulai rapat, apa yang dia pikirkan dan katakan yah? Atau dia bercita-cita jadi politisi juga karena bisa seenaknya (Oh Nooo :)) )
Menjadi anggota dewan bukan lagi suatu kebanggaan, koran harian "R" pernah menulis, keluarga para wakil rakyat banyak yang malu jika anggota keluarga mereka menjadi anggota dewan, sampai seorang anak politisi senior berkata langsung "papa apa ga malu jadi anggota DPR? (Nyesek ga sih dengarnya, yang ngomong anak sendiri gitu lho), ini karena yang terlihat oleh masyarakat mereka bekerja bukan demi rakyat tapi "menyakiti" rakyat, kasus korupsi, studi banding, anggaran ini dan itu yang di luar budget, video porno dan lain-lain.
Oh ya boleh ya saya mau cerita sedikit pengalaman pribadi, kutipan tulisan pembuka diatas merupakan judul buku Arvan Pradiansyah, saya dari dulu nge-fans dengan tulisan dan buku-buku beliau saking sukanya begitu selesai membaca buku The 7 laws of Happiness karena merasa tercerahkan saya langsung email beliau dan besoknya langsung dibalas, seneng bangett. Nah pada saat buku beliau akan terbit yang berjudul "Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi" saya diemail, begitu baca judul bukunya yang terpikir oleh saya "berani banget Pak AP bikin judul yang provokatif begini apa ga takut di protes para politisi?" Kemudian saya balas email beliau saya tanya "Pak ga takut para anggota dewan dan politisi lain marah?" Email saya di balas "Yang saya takutkan malah mereka tidak marah atau introspeksi setelah baca buku ini" Woww jika saya ada di depan AP pasti saya langsung keplok tangan, berdiri lalu bilang "You are right sir" he he. Tapi kenyataanya seperti itu sepanjang yang saya tau tidak ada politisi yang marah atau membahas buku ini. Keadaan tidak berubah kelakuan para politisi malah semakin keluar dari aturan dan etika.
Buku ini bagus, ceritanya mengalir dan bukan hanya hanya berdasarkan asumsi tapi fakta, ga mungkin jika hanya menuduh AP mau mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai pembicara, fasilitator, penulis, dan pemilik bisnis. Nih saya kutip sebagian di salah satu tulisan beliau yang bagi saya oke banget berjudul
"Poli+Tikus"
Harold Laswell merumuskan politik yaitu : Who gets What, When, and How. Politik adalah siapa, mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Perpolitikan Indonesia adalah contoh yang terang benderang mengenai apa yang dikatakan Laswell. Yang dilakukan para politisi, hanya berkisar pada peta kekuasaan dan pembagian kue setelah pemilu. Kekuasaan telah menjadi sekedar "makanan" yang dipeributkan.Dan tidak ada yang lebih penting dalam politik selain hanya menjadi pemenangnya. Para pemenang inilah yang akan menciptakan sejarah, sementara orang yang kalah akan segera masuk kotak dan dilupakan orang. Politik yang hanya mementingkan 3 W 1 H ini sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan orang banyak, tetapi hanya berhubungan dengan kepentingan pihak-pihak yang bertikai. Politik yang demikian sama sekali tidak spritual dan hanya menempatkan para pelakunya menjadi political animal (hewan politik).
Rumus dalam politik memang hanya satu :Kepentingan. Dalam politik, memang tak ada kawan sejati dan musuh abadi yang ada hanya kepentingan. Segala sesuatu selalu berubah. Yang tetap hanyalah Tuhan karena itu, kalau mau selamat, maka kita harus berpegang pada sesuatu yang tetap, yaitu Tuhan. Nah, di dalam politik segala sesuatu bisa berubah dalam waktu singkat. Yang tetap hanyalah kepentingan. Dengan demikian, kepentingan sebenarnya telah menjadi TUHAN bagi para politikus.
Apakah semua politikus/politisi seperti itu? Saya akan menjawabnya dengan sangat tegas : YA. Semua politikus
Seperti itu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tuhan mereka bernama Kepentingan. Tapi, kan ada politikus yang baik, demikian kata anda. Baiklah, kalau begitu saya ingin mengatakannya dengan lebih keras lagi. Tidak ada politikus yang memikirkan kepentingan orang lain. Kalaupun ada beberapa orang yang memikirkan orang lain, mereka sesungguhnya bukanlah politikus. Mereka adalah NEGARAWAN.
Thomas Jefferson punya definisi yang sangat baik mengenai politikus dan negarawan ini. Politikus memikirkan pemilihan yang akan datang, sementara negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Oke khan tulisannya Pak Arvan, nah buat yang mau, sedang, atau telah jadi politisi baca deh buat referensi, ga rugii lagee. Buat para anggota DW ntar malam jika "Laskar Jihad" ga pulang ngelenong yukkss ˆ⌣ˆ ˆ⌣ˆ
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 21 Juli 2011

Belajar dari orang yang memiliki ketajaman hati
Membuatku sadar aku belum sepenuhnya memiliki kepekaan nurani

Belajar dari orang yang berwawasan luas
Membuatku tau ilmuku baru seujung kuku

Belajar dari orang yang berakhlak mulia
Membuatku selalu ingin mencontohnya

Belajar dari orang yang mencintai Allah
mengingatkanku bahwa dunia sebagai jalan ruhani menuju kepadaNYA

Menulis Dengan Kekuatan Jiwa ("Dunia Kata" M Fauzil Adhim)

Pernah nggak ngerasain baca buku yang bagus trus pengen baca lagi, kadang buku yang udah lama kita baca pun pada saat di baca lagi tetap aja masih menemukan makna yang baru. Saya menemukan beberapa buku yang seperti itu biarpun diulang-ulang ga bosan-bosan. Jadi mikir bagaimana ya kondisi mereka saat menulis? Kenapa saya sampai selarut ini terbawa emosi :). Apa ini yang dinamakan menulis dengan kekuatan jiwa seperti kata Fauzil Adhim?
Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata (buku ini sebagai bukti, saya beli tahun 2004 sampai sekarang dibaca lagi tetap ga bosan :) ) menuturkan : "Kekuatan jiwa yaitu; dalam hidup, ada yang harus diperjuangkan. Ada idealisme. Inilah yang menjadi penggerak kita, penggerak yang nyalanya berkobar-kobar dan tak mudah padam. Kekuatan idealisme inilah yang telah melahirkan penulis-penulis besar. Diantara mereka ada yang sangat produktif, ada pula yang tidak. Tetapi, satu karya yang benar-benar baik dan penuh kekuatan, akan jauh lebih berpengaruh daripada seribu buku yang tebal biasa-biasa saja. Ya, kekuatan jiwa. Bukan semata ketrampilan menulis. Kekuatan jiwa itu lahir dari niat yang bersih, tujuan yang jelas, komitmen yang kuat, visi yang tajam dan sikap mental yang baik. Ada yang mereka perjuangkan dalam hidupnya. Ada yang mereka sampaikan".
Setuju banget dengan penjelasan FA, saya rasa tidak hanya dalam bidang menulis, apapun profesi kita dalam hidup kita harus punya nilai tersebut, ada yang harus kita perjuangkan, ada nilai-nilai yang menjadi pegangan kita dalam melangkah. Buku-buku karya Habiburrahman Elshirazy, Helvy TR, Asma Nadia, Endy Kurniawan (Think Dinar) Ligiwina Hananto dengan "kampanye" mengajak Golongan Menengah Indonesia menjadi kuat bagi saya termasuk buku yang ditulis dengan kekuatan jiwa.
FA memberi tips apa yang kita perlukan dalam membangun kekuatan jiwa? langkah pertama pertajam visi, karena ia memberi inspirasi dan mengendalikan setiap kata yang mengalir melalui jari jemari kita. Visi disini adalah gambaran tentang keadaan yang kita inginkan dimasa depan. Visi menjelaskan ingin menjadi apa kita, apa yang ingin kita raih dan akan kita "ciptakan" seperti apa diri kita. Langkah kedua, berpikir progresif yaitu menawarkan upaya kreatif untuk menemukan jalan keluar. Berpikir progresif membuat kita optimis dan inovatif.
Jujur saya menangis pada salah satu bagian kalimat FA dalam "Dunia Kata" tersebut; "Demi Allah, saya mengharap dengan seluruh kekuatan yang saya miliki agar setiap tulisan mampu menciptakan perubahan besar bagi hidup, pikiran, jiwa dan agama kita. Hidup ini tak lama, sedangkan kematian amat dekat. Maka saya berharap setiap kata yang dituliskan menjadi bekal untuk hidup sesudah mati". Subhannalah... semoga karya-karya FA menjadi amal kebaikan, sebagaimana saya rasakan setiap saya membaca buku-buku karya beliau, menjadi tercerahkan dan berusaha memperbaiki diri lebih baik lagi. Aamiin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®