Judul Buku : Kau, Aku dan Sepucuk
Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia
"Untuk orang-orang seperti
kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi
cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan"
“
Pekerjaan apapun itu mulia asal dikerjakan dengan tulus”
Kebaikan akan
berbalas dengan kebaikan, sampai kapanpun itu tidak akan salah, walaupun
awalnya kebencian dan kesedihan yang kita rasakan.
"Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit sendirian, menangis
terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir.
Aku selalu tahu sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu bapak adalah
orang baik yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya
meninggal atau pisau bedah dokter. Dia boleh jadi masih bisa siuman,
diselamatkan, bukan? Mukzizat bisa datang kapan saja, bukan? Umurku dua belas,
aku tidak pernah tahu jawabannya" (halaman 16)
Jika kita jatuh
cinta kepada orang yang keluarganya pernah membuat kepedihan dalam hidup kita,
apakah yang harus kita lakukan? Berhenti mencintainya, membencinya atau tetap
mencintainya?.
Novel ini bercerita
bagaimana Borno jatuh cinta kepada Mei yang juga menyukainya tetapi Mei
dibayangi masa lalu, ibunya yang sakit keras setelah kejadian mengoperasi bapak
Borno yang mendonorkan jantungnya dan ternyata secara medis masih bisa
diselamatkan, demi kebanggaan dan prestasi akademik ibunya Mei mengenyampingkan
itu semua. Akibatnya setelah kejadian tersebut perasaan bersalah terus
menghantuinya hingga ia menderita sakit parah dan akhirnya meninggal.
Novel ini memang
bercerita mengenai kisah percintaan tapi bagi saya tema kisah percintaan yang
ditulis oleh Tere Liye hanya pembungkusnya saja, sedangkan isinya mengenai
prinsip nilai-nilai kehidupan. Tokoh Pak Tua diceritakan sebagai orang yang
bijak yang banyak menganjarkan Borno dan Andi tentang kehidupan. Dari Pak Tua
lah Borno banyak belajar bagaimana menjadi bujang yang berhati lurus. Tak
selalu nasehat pak tua disampaikan secara serius, kadang juga disampaikan dalam
gelak tawa.
“Ini resep rahasia milik Pak Tua. Kalian bisa tiru kapan saja, manjur
nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu lintas atau satpam galak
tanpa senyum, sapalah dia dengan menyebut namanya, bersahabat, maka urusan jadi
gampang seketika. “Karena mereka
terkadang sudah kesal dari sananya, Borno. Seharian atau semalaman bosan
berjaga, menghadapi orang-orang. Kau lurus-lurus saja bisa mengundang masalah,
apalagi kalau kau memang membawa masalah. Nah, dengan menyapa nama, itu membuat
mereka merasa dihargai setelah kesal sepanjang hari. Percayalah. Itu selalu
berhasil.” (halaman 25).
Membaca novel ini
kita juga diajak menikmati kota Pontianak dan sepit sebagai alat transportasi
masyarakat untuk menyeberang sungai. Nama kota Pontianak, dalam bahasa Melayu
artinya hantu. Sedangkan sepit sudah lama menjadi transportasi utama
masyarakat.
“Bagi sebagian penduduk Pontianak bepergian keluar negeri itu jamak.
Kota ini hanya enam jam dari perbatasan Entikong, Malaisya. Kalian bisa dengan
mudah menumpang kendaraan umum Malaisya menuju Kuching, ibukota negara bagian
Serawak. Kalau mau lebih praktis lagi, gunakan bus eksekutif hasil kerja sama
perusahaan tiga negara : Indonesia, Malaisya, dan Brunei Darussalam. Dengan
satu tiket, satu kali bayar, tiga negara bisa dilintasi sekaligus :
Pontianak-Kuching-Miri-Bandar Seri Bengawan”. (Halaman 74)
“Ke mana-mana penduduk kota Pontianak naik sepit. Mau berangkat
sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, berangjang sana, berkunjung ke
tetangga, termasuk hendak berbuat jahat. Kota ini kota sungai maka tidak
perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan bahwa di kota ini
transportasi air sangat penting. Zaman dulu, memiliki perahu kinclong yang terbuat
dari kayu paling kuat dan dibuat tukang paling mahir rasa-rasanya sama levelnya
dengan memiliki mobil mewah hari ini. Status sosial nomor satu. Apalagi punya
belasan perahu, sudah seperti punya garasi mobil. Bedanya, tempat parkir
perahunya ada di dermaga atau tertambat di bawah rumah panggung”. (Halaman
33)
Tapi perkembangan
zaman membuat sepit berganti dengan feri yang penduduk namakan dengan
pelampung. Kehadiran pelampung ini menyebabkan kemarahan bagi penarik sepit.
Itulah alasan Bang Togar marah saat tahu Borno kerja di dermaga.
“Puluhan tahun silam, mereka bilang hanya satu dua pelampung, ternyata
banyak. Mereka bilang hanya jam-jam tertentu saja beroperasi, ternyata setiap
saat. Mereka bilang akan merekrut pengemudi sepit penduduk gang ini, ternyata
tidak. Satu pelampung itu, sekali jalan, menghabisi dua puluh sepit, Borno. Kau
hitung sendiri berapa sepit yang kehilangan penumpang? Ratusan. Kau pura-pura
lupa, hah? Kakek kau mati ditabrak pelampung haram itu. Jasmerah, Borno,
Jasmerah!” (Halaman 35)
Borno selepas SMA
setelah beberapa kali berganti pekerjaan dan kerja serabutan yang pada akhirnya
memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit, walaupun itu bukan cita-cita nya ia
tetap ingin melanjutkan pendidikan.
“Pak Tua menghiburku “Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut
pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih
senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak
pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi
sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.” (Halaman 49)
Sebelum menjadi
pengemudi sepit Borno kerja di dermaga sebagai pemungut karcis penumpang kapal
feri. Setelah beberapa hari bekerja Borno menjumpai kecurangan yang dilakukan
teman-temannya mereka tidak memberi karcis pagi penumpang tapi langsung
menerima bayaran. Hal tersebut sempat membuat resah Borno. Saat Borno bercerita kepada Pak Tua sambil
tertawa Pak Tua mengatakan kepada Borno “Beginilah,
Borno. Mari kita berandai-andai.” Pak Tua tersenyum bijak, “Gaji kau katakanlah
tujuh ratus ribu, ditambah dengan uang haram itu, bisa jadi dua juta. Kau butuh
berapa tahun untuk mengumpulkan uang sepuluh miliar? Empat ratus tahun, empat
abad kau bekerja nonstop baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kau tahu,
butuh berapa lama pemilik kebun sawit kenalanku itu? Hanya enam bulan. Juga
para pesohor, pengusaha, bahkan pemain bola ternama. Mereka hanya butuh
hitungan tahun, bahkan kurang. Kau tahu ironinya? Mereka melakukannya dengan
jujur, kau melakukannya dengan cara curang jahat.” (Halaman 43).
Saat dilema apakah
menjadi pengemudi sepit seperti bapaknya almarhum, Borno memutuskan “aku
berjanji akan jadi orang baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan
berbohong, dan senantiasa bekerja keras meski akhirnya hanya jadi pengemudi
sepit”(Halaman 54).
Novel ini menjadi
gelak tawa dengan adanya tokoh Bang Togar sang ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi
Sepit Kapuas Tercinta). Bang Togar diceritakan sebagai seorang abang yang
galak, egois tapi berhati lembut. Bagaimana Bang Togor yang suka
menyuruh-nyuruh dan mengerjai Borno adalah orang yang mengajukan usul untuk
membelikan Borno sepit yang baru dan dia juga yang meminta sumbangan kepada
penduduk. Bang Togar juga yang mengolok-olok Borno ketika Borno kencan berdua
dengan Mei
Mei hadir dalam
kehidupan Borno saat ia meninggalkan sepucuk surat bersampul merah dalam sepit,
tanpa nama. Dari keinginan hendak mengembalikan surat tersebut maka perkenalan
mereka berlanjut tapi tetap dengan banyak rahasia yang disimpan oleh Mei.
Sampai Mei memutuskan pulang ke Surabaya agar jauh dari Borno. Sayang perasaan
suka itu tak bisa ditepisnya begitu juga dengan Borno.
Kehidupan Borno
berlangsung dengan baik dan banyak kemajuan. Karena ketekunan dan keinginannya
untuk selalu belajar. Borno menjadi orang yang ahli dalam montir itu berkat
banyak membaca buku-buku baik yang dipinjam atau dibelinya. Akhirnya ia
mempunyai bengkel yang maju dengan bekerjasama dengan Bapaknya Andi. Kemajuan
pekerjaan tidak lantas membuat bapaknya Mei menyetujui hubungan Borno dan Mei.
Borno pun tidak tahu apa alasan Mei yang menghindar dan apa sebab ketidaksukaan
bapaknya.
“Mei terus menolak menjelaskan. Dia terus menolak. Bahkan aku cemas,
dia malah memutuskan pergi dari sini. Itu berarti sudah saatnya kau mulai
kesempatan baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau menyakitkan
apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan
bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat
itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan
hidup dengan segenap perasaan riang” (Halaman 430)
Jawaban dari semua
itu ternyata ada di sepucuk surat bersampul angpau merah yang sengaja
ditinggalkan Mei tapi tak pernah dibaca oleh Borno. Sampai akhirnya Bibi Mei
menyuruh Borno untuk membaca surat tersebut karena jawaban semua misteri ada
disana.
“Abang. Sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah
menyakiti keluarga Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi
jantung dini hari itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah
meninggal atau belum secara medis. Mama yang membelah dada bapak Abang Borno.
Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah
dilakukan. Mama dibutakan dengan “prestasi”, “ tinta emas” dan sejenis itulah
jika dia berhasil. Mama sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu,
mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak Abang Borno. Tapi dia memutuskan
sebaliknya, operasi itu harus dilakukan. Itulah yang membuat Mama tiba-tiba
berubah. Saat melihat Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit,
saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu datang.
Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan seseorang lantas memberikannya ke
orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat
kalian cintai? Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali
dibuku harian Mama” (Halaman 501)
Borno tetap
memutuskan mencintai Mei bahkan menyusul Mei ke Surabaya. Borno paham seperti
ucapan Pak Tua “Untuk orang-orang
seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras dan sederhana, maka
definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat
menakjubkan” (Halaman 507)
“Aku berjanji akan selalu
mencintai kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu
ribuan kali, tahu masa lalu itu menyakitkan, itu tidak akan mengubah apapun.
Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan
mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau
tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas,
maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?”. (Halaman 507)
Apa yang membuat
Borno sampai kepada pemahaman tersebut? Karena Borno tau kebaikan yang
diberikan akan berbuah kebaikan pula. Dalam kehidupannya Borno dipertemukan
dengan Sarah anak penerima donor jantung dari bapak Borno. Keluarga Sarah
sangat berterima kasih dan bahagia ketika akhirnya bisa bertemu dengan keluarga
Borno. Karena berkat donor jantung tersebut Bapak Sarah bertahan selama
sembilan tahun, dan bisa menyaksikan anak-anaknya menikah, berkeluarga dan
melihat cucu. Begitu juga sebaliknya ketidakjujuran hanya akan mengakibatkan
keresahan dan ketidakbahagiaan.
Membaca buku ini
sampai akhir halaman membuat saya terharu. Nasehat yang sederhana tapi dalam
dan sangat prinsip. Sifat Jujur, bekerja keras dan sederhana mungkin sudah
sering kita dengar baik sebagai slogan, kampanye atau nasehat. Tapi jika ini
tidak hanya sekedar diucapkan di mulut tapi dilaksanakan dalam kehidupan nyata
mungkin bisa mengubah kehidupan bangsa yang kusut dan semakin tidak jelas ini
berubah. Seperti cerita Pak Tua tentang
pasangan Fulan dan Fulani pasangan buta yang berkali-kali dalam kehidupannya
ditimpa masalah tapi mereka tetap saling mendukung, cinta mereka bukan cinta
gombal tapi diwujudkan dalam perbuatan.
Tapi setelah membaca
habis buku ini saya juga bertanya-tanya apakah cerita cinta saya seperti
nasehat Pak Tua kepada Andi atau Borno yahh :))
Kekurangan dari buku
ini yang menjadi pertanyaan bagi saya, penulis tidak menceritakan bagaimana
bapak Borno bisa mendonorkan jantungnya dan bagaimana prosesnya, karena info
tentang cara dan proses donor organ tubuh ini banyak yang belum diketahui
masyarakat.
Secara keseluruhan buku
ini layak dibaca karena tidak hanya sekedar cerita fiksi tapi ada tujuan dan
pesan yang disampaikan. Seperti buku-buku Tere Liye lain yang banyak
menginspirasi dan banyak bertema anak-anak membuat saya yakin buku yang bagus
bisa mencerahkan dan menjadi sumber ilmu dan membentuk karakter yang baik. Semoga
cerita yang ditulis dengan hati maka akan sampai ke hati pula oleh pembaca.