Sabtu, 11 Januari 2020

30 Hari Bercerita, Delapan 8


Bercerita tentang dimensia membuat saya sedih. Sedih karena orang yang saya sayangi menderita penyakit tersebut eh tapi tetap itu qadarullah  wa maa syaa'a fa'ala dan sebagai muslim yang baik harus tetap mengucapkan Alhamdulillah alla kulli hall.

Sedihnya disini tentang perasaan sebagai seorang anak, melihat bapak (mertua) yang mendadak memorinya hilang, seperti orang yang berada di dunia lain. Hikmahnya jadi bisa melihat betapa hebatnya Allah telah memberikan manusia dengan segala kerumitan susanan syaraf pada otak, rumit bagi manusia awam seperti saya. 

Dengan sakitnya mama dan bapak saya melihat dua sisi penyakit yang berbeda. Bapak secara fisik sehat tapi syaraf dan psikisnya terganggu sedangkan mama secara psikis sehat tapi fisik nya sakit karena tulangnya bermasalah, kesimpulannya sehat itu harus seimbang fisik dan psikis. 

Kadang saya juga kepikiran, nanti klo umur saya sampai lanjut saya seperti apa ya, menderita sakit apa? Pertanyaan ini sering ditepiskan oleh suami dengan mengatakan pasrahkan semua kepada Allah , jangan berandai andai perbamyak doa saja. Seketika langsung berhenti membayangkan hal tersebut.

Bagi anak ini adalah ujian dan dituntut kesabaran tingkat tinggi, karena orang tua yang sudah berusia lanjut sikap dan tingkahnya akan kembali seperti anak kecil lagi. Bagi saya sendiri andaikan bisa memberikan segalanya untuk orang tua, insyaa Allah semua akan saya berikan, tenaga, waktu dan materi. Walaupun sering juga bilang cape dan lelah, ya karena saya manusia bukan boneka yang ada batrenya 😀

Kalau dimensia bapak lagi kambuh, trus bapak nanya ini lagi dimana, apa yang terjadi, itu siapa, rasanya seperti patah hati, kangennn bisa ngobrol2 lagi seperti dulu. 
Ketika saya tau bapak sakit dimensia dan saya baru mendengar nama penyakit itu, langsung sibuk googling kemudian beli buku tentang dimensia. Berharap dengan banyaknya info yang saya terima saya bisa menangani dan memperlakukan bapak dengan benar sesuai dengan kondisinya, walaupun membaca.buku tersebut sampai sesak nafas karena sedih dan tau betapa ngeri efek dimensia tersebut. 

Ini salah satu catatan perjalanan hidup yang harus di jalani, Allah sebaik baik pembuat rencana. Ga tau hikmahnya aekarang, mungkin besok2 jadi tau, klo pun akhirnya ga tau ya ga apa2, percayakan dan pasrahkan sama Sang Maha. 

Rabu, 08 Januari 2020

30 Hari Bercerita, ke 7


Setelah tiga tahun kebelakang kegiatanku diisi dengan rutin mengikuti taklim, tahun ini aku ingin taklim yang kuiikuti membekas alias nampol di kalbu. Jangan sampai teori yang masuk banyak, praktek kurang apalagi hanya sambil lewat saja dan kemudian lupa.

Yang kurang dariku adalah murajaah ilmu, kitab atau buku yang sudah dipelajari ada beberapa yang sudah khatam tapi ketika di tanya lagi aku sudah lupa, apa yang diajarkan sudah berapa persen yang di praktekkan, belum lagi hapalan ayat dan hadist yang tidak seberapa sudah banyak lupanya klo harus diulang. Jadi tahun ini aku ingin taklim tidak hanya sekedar pergi, duduk, nyatat kemudian pulang trus catatan ga pernah dibuka lagi. 

Hapalanku juga cendrung menurun beberapa bulan ini, selain waktu lebih banyak ngurus mama ketika istirahat dan waktu luang banyak kupakai membersamai hp. 

Yukk ahhh Bismillahirrahmanirahim, menuju 2020 dengan mengisi waktu yang berkualitas, insya Allah...

Senin, 06 Januari 2020

30 Hari Bercerita, Enam 6


Hellow 2020

Saya udah lama banget ga bikin resolusi lagi. Dulu rajin di catat di buku apa aja resolusi tahun ini, 5 tahun dan 10 tahun kedepan. Sepertinya ini pengaruh bacaan zaman kuliah tentang motivasi dan buku kang abik ayat ayat cinta. Sebenarnya bagus juga sih kebiasaan seperti itu karena dengan tercatat kita tau maunya kita seperti apa dan lebih terarah mau di bawa kemana tujuan kita.

Trus kenapa sekarang saya ga bikin lagi? Jujur dulu target saya banyaknya tentang dunia biasalah anak muda kurang tarbiyah 🙂walaupun ada satu dua tentang akhirat terutama soal peningkatan ibadah. Sekarang saya bosan klo hidup banyak di target hanya tentang dunia aja apalagi selama penantian 16 tahun ini keinginan yang saya impikan belum tercapai. 

Apakah saya terluka dan kecewa?  Entahlah, hanya satu yang paling saya rasakan, sebagus apa pun rencana dan ikhtiar saya jika Allah belum berkehendak, hasilnya nol.
Sekarang saya lebih pasrah dan tawakal kepada Allah dan lebih selow dalam menghadapi hidup, rencana tetap saya susun dalam hati, usaha saya lakukan semampu saya jika dalam pelaksanaanya banyak hambatan ya sudah itu namanya qadarullah. 

Seperti kondisi 6 tahun terakhir disaat mama sakit kegiatan saya langsung berganti hanya dengan mengurus mama. 

Apakah saya sedih dengan kondisi saya? Awalnya iya tapi setelah saya banyak belajar ilmu agama, rutin taklim, saya jadi tau yang mana sesungguhnya prioritas hidup saya, apalagi sudah ada contoh di zaman tabiin tentang kisah uwais al qarni. Saya benar benar termotivasi dengan adanya kisah itu, saya sekarang tau pada akhirnya tujuan hidup itu seperti apa, menjalaninya harus seperti apa, dan skala prioritasnya seperti apa. 

Apakah sekarang hidup saya bahagia? Klo standar bahagia artinya senang terus, berarti jauhhh. Sekarang yang saya cari berkah. Jika dalam prosesnya saya banyak jatuh, sakit dan penuh air mata, saya terima dengan senang hati. Sekarang yang saya dapatkan ketenangan dalam menjalani hidup ini. Ketika kita lagi susah dan kita menjalani dengan tenang dan sabar bagi saya itu nikmat banget. Mau apa lagi karena sunatullah hidup itu penuh ujian, hadapi saja dengan panduan hukum Allah, biidznillah, insyaa Allah semoga Allah ridho dengan apa yang telah kita lakukan dan rencanakan.