Setelah itu banyak tulisan2 ahli kesehatan untuk waspada terhadap pecahnya pembuluh darah.
Aku juga mau sharing tentang aneurisma, qadarullah yang sakit mama, jadi aku sebagai pendamping yang mengurus mama.
Sakit kepala itu penyakit yang umum dan bisa disebabkan oleh banyak hal. Awalnya mama sering sakit kepala yang sakitnya itu benar2 sakit sampai kliatan mama menahan sakitnya segitu rupa. Tidak mudah waktu itu untuk menemukan penyebabnya. Awalnya kita ke dr syaraf kemudian di kasih pengantar ct scan, hasil ct scan terlihat ada benjolan di kepala, kata dokter ini mungkin tumor kemudian di rujuk ke dr ahli bedah syaraf. Ketemu dr bedah syaraf setelah melihat hasil CT scan dia membenarkan ada benjolan tapi jika itu tumor untuk orang lanjut usia, mama berumur 80 tahun sangat riskan diambil tindakan pembedahan.
Sambil cari info yang lain mama periksa gigi, mata dan akupuntur tetap belum ada perbaikan tetap sakit kepala.
Karena udah bingung cari info gimana lagi aku searching di google dokter bedah terbaik di Jakarta, muncul nama prof E di Karawaci.
Waktu itu masa pandemi untuk ketemu dokternya ga mudah karena dia hanya melayani yang darurat. Aku wa an sama asisten dokter kirim ct scan minta opinion prof E. Akhirnya di bikin jadwal dan ketemulah dengan prof E. Begitu melihat ct scan yang aku bawa dan aku cerita dokter sebelumnya diagnosa tumor, prof E cuman bilang tidak semua yang benjol itu tumor atau kanker bisa jadi ini kelainan pembuluh darah berupa pembengkakan pembuluh darah.
Mari kita buktikan dengan pemeriksaan radiologi lebih lanjut, mama periksa mri, mra dan cta. Setelah melihat hasilnya fix ini bukan tumor tapi aneurisma.
Pembuluh darah yang bengkak itu namanya aneurisma, sakitnya luar biasa, mama sering teriak klo lagi sakit. Klo menurut dokter A yang menangani operasi aneurisma mama, Jika dibuat skala satu sampai sepuluh, sakit disebabkan aneurisma skala sembilan. Pantesan mama klo lagi kumat teriak2 kesakitan yang aku sendiri ngelihatnya ga tega, didepan mama menguatkan tapi dibelakang menangis sendiri.
Aneurisma ini sifatnya seperti bom waktu, bisa sewaktu-waktu pecah tanpa bisa diprediksi kapan waktunya.
Itulah sebabnya ketika diagnosa aneurisma tidak ada jalan lain harus dioperasi agar jangan sampai pecah.
Apa efek pecah? Tanyaku ke Prof E, dengan lugas ia menjawab, masih mending klo pecah langsung mati, enak ga masalah, yang ada malah banyak kejadian, pasien yang sudah pecah pembuluh darah hidupnya lebih banyak di ICU tidak sadarkan diri berbulan bulan bahkan tahunan. recovery saraf ini lama bertahun tahun.
Coba kita hitung2 dari segi biaya, tau sendiri khan berapa biaya di ICU apalagi ICU di RS swasta. Kita berhitung saja untuk operasi aneurisma kira2 habis berapa ratus juta, kemudian di ICU berapa hari untuk memulihkan kondisinya. Beda jika sudah pecah di ICU waktunya tidak bisa di prediksi, recovery yang lama menghabiskan biaya berkali lipat dari biaya operasi aneurisma.
Penjelasan Prof E yang to the point sukses membuat kepalaku nyut2 ngilu membayangkannya.
Akhirnya setelah rembukan keluarga kita putuskan mama untuk operasi.
Yang jadi pikiran umur mama yang sudah mendekati 80 risiko nya juga tinggi, sedangkan prof E menyarankan operasinya berbentuk klip yaitu membuka sayatan di kepala kemudian pembuluh darah yang bengkak itu di klip atau di tutup dengan alat agar tidak pecah. Disarankan metode ini karena hampir 90 persen metode ini berhasil karena langsung memotong atau memasang alat di batang aneurisma supaya tidak pecah.
Terus terang kami sekeluarga ga berani, mengingat usia mama yang lanjut usia dan kami sudah melihat bagaimana mama pernah menjalani operasi besar tulang dua kali, berat memutuskan untuk operasi besar konvensional.
Second opinion kucari lagi, Aku menemui dr bedah syaraf yang dulu pernah kutemui, aku cerita klo hasil diagnosa aneurisma dan ketemu langsung dengan prof E. Dia menjelaskan Prof E ini memang sudah super pengalaman dalam hal bedah membedah syaraf.
Jadi dia udah tau dengan segala risiko.
Akhirnya aku disarankan ke RS pon RS khusus otak disana ada dr ahli aneurisma dan aku di kasih satu nama dr A, yang langsung ia telp.
Setelah ketemu dr A, aku cerita semuanya, dia juga paham dengan kekhawatiran ku, dan dia juga ga berani untuk operasi bedah kepala orang lanjut usia. Umur 80 itu badan udah seperti kaca yang gampang retak dan harus ekstra di jaga itu alasannya.
Akhirnya dr A menyarankan coiling.
Metode ini dikategorikan dengan metode DSA. Metode ini bukan seperti operasi bedah konvensional. Coiling dilakukan dengan cara membuat sayatan kecil di paha untuk memasukan kateter, dan kateter ini di gerakkan dengan mesin yang di dalamnya berisi coil atau kawat halus yang di gunakan untuk menambal pembuluh darah yang bengkak tersebut. Diharapkan tambalan ini akan menahan pembuluh darah agar tidak pecah.
Masing masing metode mempunyai nilai plus dan minus, metode cooling ini risiko minim efek bedah tapi hasilnya tidak secepat dan setahan bedah konvensional. Coiling ini karena namanya tambalan tentu tidak sebagus yang ditutup paten prosesnya berlangsung lama, dan tidak bisa untuk jangka waktu lama. Kawat halus ini ketika dimasukan ke pembuluh darah untuk menyumbat tentu masih ada celah2 halus yang membuat darah tetap masuk ke daerah aneurisma, dengan waktu darah yang masih masuk ini akan mengeras bersama coil dan akan memadat hingga bisa menyumbat pembuluh darah.
Kami memutuskan mama untuk coiling, sebelumnya nanya dulu ke mama dan aku pertemukan dengan dr A karena selama ini yang bolak balik konsul ke dr aku sendiri tanpa mama dengan pertimbangan lagi pandemi risiko bawa mama ke RS.
Melihat kondisi fisik mama secara langsung dan dr menguji mengenai ingatan mama, dr optimis mama bisa menjalani coiling.
Bagaimana hasil yang didapat mama setelah coiling? Dari rata2 pasien yang telah melakukannya hasil yang didapat bagus.
Tapi karena mama lansia, yang kondisi badannya tidak seperti orang yang usia muda hasilnya tidak sama .
Operasi mama berlangsung 5 jam, sedangkan rata2 pasien lain hanya berlangsung 30 menit.
Saat gelisah dan hati ga tenang menunggu mama di ruangan tunggu operasi, yang duduk di sebelahku menanyakan, ibuk nunggu siapa? Aku cerita lagi nunggu mama yang operasi aneurisma. Wajahnya kaget dan langsung bilang ohh ini keluarga pasiennya. Saya dari alat kesehatan yang membawa cooling pesanan dr A katanya memperkenalkan diri.
Langsung lah terjadi banyak percakapan dan aku bisa tau apa yang terjadi di dalam ruangan operasi karena dia online dengan orang yang berada di ruang operasi. Biasanya sebelum pandemi dia masuk ke ruangan operasi untuk menyiapkan alat yang diperlukan, karena pandemi di batasi orang di ruangan operasi.
Ternyata alat yang di bawa banyak satu koper. Karena pesanan sering berubah ketika operasi kadang butuh lebih banyak, butuh ukuran yang lebih besar dll.
Operasi berjalan lama karena alat tidak bisa naik ke pembuluh darah atas, pembuluh darah mama sudah tidak elastis lagi dan mnempunyai banyak cabang yang berbelok2, jadi kateter susah untuk mencapai lokasi aneurisma. Disaat dokter sudah kepayahan dan mengatakan ini upaya terakhir karena pasien sudah lama dibius dan efeknya tidak baik, Alhamdulillah kateter bisa naik ke pembuluh darah yang di targetkan.
Setelah tau operasi telah berhasil, petugas alkes itu menatapku sambil mengelus punggungku dia mengatakan, Alhamdulillah operasi sudah selesai tapi nanti ibuk jangan kaget ya ada perubahan biaya yang sangat besar nanti dr akan menjelaskan. Aneurisma yang ukuran di cta bulan lalu hanya berapa mm sekarang telah mencapai cm jadi alat yang diperlukan lebih banyak, dan ukuran alat yang di pakai lebih besar tidak sesuai dengan yang di pesan.
Aku hanya diam dan mengiyakan sambil berhitung berapa lagi tambahan yang dikenakan, tapi sudahlah itu nanti bisa dipikirkan yang penting sekarang mama bisa cepat siuman dan recovery lancar.
Bersambung di postingan selanjutnya ya 😊
#30haribercerita