Rabu, 08 Maret 2023

Tutur Bathin Fala Adinda


 
Barusan nonton podcast yang nara sumbernya Falla Adinda, seorang dokter, penulis, influencer, pecinta olahraga, selebgram, yang tulisannya dari dulu udah tak baca di blog. Dokter Falla ini setahun lalu di diognosa terkena kanker payudara stadium awal, status tersebut di ceritainnya di story dan feed Ig, yang membuat berbeda, cara menyikapinya sungguh unik, entah karena basic nya dokter dia udh tau apa yang harus dilakukan dan risikonya atau emang anaknya seunik dan selucu itu. 
Sebelum kemo dia udh janji untuk sulam alis biar kelak ketika kemo dan rambutnya rontok dia masih ada alis dan kelihatan cantik, saya tersenyum sungguh out of the box cara yang manis menyikapi kesedihan hidup. Falla ini selama sakit dia tetap olahraga dan dia mengkampanyekan bahwa kanker itu sama aja seperti sakit lain, jadi dia pengen orang bersikap normal aja kepadanya. Kenyataannya sewaktu dia di diagnosa kanker teman2nya banyak menghilang dengan alasan bingung mau ngobrol apa, takut bikin sedih, padahal dia butuh orang yang diajak bicara secara normal kehidupan seperti biasa aja. 
Bagi saya ini ilmu baru, karena yang saya lakukan sama seperti teman Falla sewaktu ada teman yang kanker setiap saya mau chat wa menanyakan kabar saya bingung apakah ini menganggu atau bikin dia tersinggung atau gimana. Karena selama ini yang saya tau orang yang sakit kanker itu pada awalnya tertutup trus klo kita tanya2 kabarnya mereka jadi sedih. Ternyata ini salah. Sakit kanker sama seperti sakit lain, stigma yang berkembang di masyarakat yang membuat penyakit ini menjadi angker dan orang menghadapinya pun menjadi suram dan penuh ketakutan. Padahal jika ujungnya kematian semua orang hidup pun akan mati. Endingnya sama jalannya saja yang berbeda. 
Pemaknaan Falla terhadap sakit ini juga bagus, dia udah pengerti pesan yang Allah sampaikan " kita ini kecil mudah aja bagi Allah untuk mengambil segalanya dari kita, seperti saya dalam 1X24 jam hidup saya berubah dari dokter menjadi pasien. Saya sekarang sangat mindfull menghadapi hari perhari, tidak lagi memikirkan hari esok, karena bisa jadi hari esok sudah berganti cerita. Saya yang dulu bukan seperti ini penuh rencana jangka panjang, jika mau melakukan sesuatu ntar ah besok aja"
Sungguh mengharu biru mendengar ceritanya walau dia bercerita masih tetap dengan manis hanya sedikit menangis. 

Satu hal lagi yang jadi catatan saya, Falla mengatakan yang harus diperhatikan itu bukan hanya pasien saja tapi juga care giver. Merawat pasien itu efeknya juga sakit, walau yang sakit perasaan. Kadang mereka juga ningung berbuat apa, belum lagi kelelahan. 
Itu benar adanya dan Alhamdullah terjawab lah pertanyaan saya selama ini. Saya merawat mama intensif hampir 4 tahun. Mama umur 80, untuk beraktivitas memakai rolator dan harus dibantu, sudah dua kali operasi tulang, terakhir tahun lalu operasi syaraf. Tahun lalu saya merasa aneh dengan emosi saya, seperti marah tapi tidak tau kenapa. Cape tapi di bawa istirahat juga tidak hilang. Kesel tapi bingung sama siapa. Sempat curhat dengan suami karena dia juga tidak tau hanya di jawab sabar, ini peluang surga. 
Saya tidak menampik ini sebagai ladang surga bentuk ketaatan saya kepada Allah dalam rangka mematuhi perintah Allah, birulwalidaian. Secara sadar saya juga mengambil keputusan untuk merawat mama dan meninggalkan kesibukan yang lain.
Yang saya tidak mengerti kenapa  emosi saya kacau, biasanya ini datangnya jika Pms. Sekarang saya baru sadar care giver juga rentan menjadi sakit. 
Beruntung Falla yang mengerti kondisinya hingga ketika sakit ia menitip suaminya kepada teman-temannya, menitip dengan maksud tolong beri perhatian karena dia lagi sakit mungkin tidak bisa memberi perhatian secara penuh.

Minggu, 08 Januari 2023

Berapa Biaya Untuk Pengobatan Coiling Aneurisma?


Kita lanjut dari postingan sebelumnya ya, Aneurisma, Jangan Sampai Pecah.

Sewaktu Adilla istri Bekti posting buka donasi untuk suaminya dihari ke 4 di rawat di RS, banyak komentar netizen, ada komentar positif ada juga yang mempertanyakan. Bisa dimaklumi karena klo cuman koment khan gratis coba klo bayar, lain ceritanya 😄

Lagi2 cerita ini berdasarkan pengalamanku sebagai pendamping dan yang merawat mama dalam menjalani sakit aneurisma, apabila ada yang salah istilah medis nya boleh dikoreksi 🙏

Sewaktu operasi selesai dan mbak dari alat kesehatan mengatakan kepadaku untuk nanti tidak kaget atas kenaikan biaya yang berkali lipat, aku sempat koment, mbak please jangan banyak2 donk naiknya. Di jawab mbaknya saya ga punya kebijakan untuk menentukan ini semua wewenang RS. 
Sebelumnya kita sempat ngobrol tentang alat2 kesehatan, dan ternyata sekarang tekhnologi itu sudah sangat wow, canggih dalam bidang kesehatan. Seperti coiling ini merupakan intervensi dsa yang memakai alat, lalu aku dilihatkan sama mbaknya ada lagi alat, apabila ada orang terkena stroke kemudian ke RS sebelum satu jam dan diintervensi memakai alat dsa dengan memasukan alat yang berbentuk jaring2 untuk memperbaiki saraf yang rusak. Jadi waktu itu aku diliatin gambar syaraf orang yang terkena stroke, lalu alat itu dimasukan ke dalam kepala sifatnya seperti spons untuk menyerap sumbatan2 yang ada di kepala, sayang namanya aku lupa sangat canggih dan itu dilakukan hanya berapa menit dan keliatan hasil scan syaraf sebelum dan sesudah diintervensi dengan alat itu. Recovery pun cepat bahkan dari catatan mereka ada yang bisa langsung pulang esoknya tanpa efek dari stroke nya.

Pertanyaan pertama setelah mbaknya cerita tentu saja biaya nya berapa tuh, disebutlah angka ratusan juta. Langsung kaget, kebayang jika ada kejadian masuk RS mendadak karena serangan stroke kemudian mau langsung tindakan seperti itu dalam hitungan berapa menit menyediakan uang cash ratusan juta tentu berat bagi rakyat jelata yang bukan termasuk golongan sultan. 

Jadi aku sangat mengerti ke kalutan istri Bekti dalam menghadapi tagihan perawatan suaminya. Apalagi RS tempat di rawatnya terkenal dengan biaya tinggi.

Bagaimana dengan BPJS. 
Sorry to say, BPJS tidak bisa mencover tindakan intervensi dsa ini. 

Waktu memutuskan untuk operasi coiling aku udah mencari info ke BPJS dan beberapa RS apakah bisa menggunakan BPJS. Ternyata yang dicover hanya operasi besar pembedahan dalam keadaan darurat misalkan datang ke RS sudah dalam keadaan pecah pembuluh darah.

Mama mempunyai BPJS dan aktif dalam membayar tagihan setiap bulan. Selama ini mama sakit untuk kontrol dll semua memakai dana pribadi. Kenapa?
Mama fisiknya udah lemah sedangkan untuk memakai BPJS harus melewati prosedur antrian yang cukup lama, ini yang tidak bisa dilakukan mama. Jadi selama ini kami mengeluarkan dana pribadi karena kondisi mama yang tidak memungkinkan.

Kira2 habis berapa untuk coiling ini? Tergantung dari kondisi pasien, semakin besar ukuran Aneurisma semakin besar juga biaya karena alat yang di gunakan semakin banyak. Mungkin hitungan kasarnya seharga satu mobil.

Terbukti ya klo mencegah itu lebih murah daripada mengobati. Tapi apabila sudah menjaga dengan pola hidup sehat tetap kena juga itu ya namanya qadarullah. 

Menurut keterangan dokter penyebab aneurisma ini bisa bermacam2, pada umumnya karena hipertensi tapi bisa juga karena foktor bawaan, sejak lahir pembuluh darah lemah dan membengkak. Ada kasus di RS ini ada anak kecil belum sekolah terkena aneurisma. 

Sekarang banyak di kampanyekan untuk orang usia 40 tahun ke atas atau orang yang beresiko walau belum umur 40 untuk skrining otak. Tapi dengan adanya kasus Bekti ini umur 40 tidak lagi menjadi patokan boleh2 saja umur 30 untuk skrining otak. Untuk skring awal bisa mri dan mra brain.

Setelah mengetahui kecanggihan alat2 kesehatan masa kini, saya merasa untuk masa depan dokter itu seperti pekerja seni, seni memadukan perkembangan tekhnologi dengan ilmu teoritis kesehatan. 
Tapi tentu saja karena yang di hadapi manusia banyak kemungkinan2 yang terjadi dan tetap mengenai hasil hanya tawakal kepada Allah. 

Semoga cerita aneurisma ini bermanfaat, tadinya hanya untuk berbagi kisah dan rasa karena melihat berita yang lagi heboh, semoga ada hikmah dan keterangan yang bisa diambil manfaatnya. Biidznillah.

Kamis, 05 Januari 2023

Aneurisma, Jangan Sampai Pecah

Sekarang lagi ramai berita mengenai artis Indra Bekti yang di temukan tidak sadar diri di toilet karena pecah pembuluh darah.
Setelah itu banyak tulisan2 ahli kesehatan untuk waspada terhadap  pecahnya pembuluh darah. 

Aku juga mau sharing tentang aneurisma, qadarullah yang sakit mama, jadi aku sebagai pendamping yang mengurus mama.

Sakit kepala itu penyakit yang umum dan bisa disebabkan oleh banyak hal. Awalnya mama sering sakit kepala yang sakitnya itu benar2 sakit sampai kliatan mama menahan sakitnya segitu rupa. Tidak mudah waktu itu untuk menemukan penyebabnya. Awalnya kita ke dr syaraf kemudian di kasih pengantar ct scan, hasil ct scan terlihat ada benjolan di kepala, kata dokter ini mungkin tumor kemudian di rujuk ke dr ahli bedah syaraf. Ketemu dr bedah syaraf setelah melihat hasil CT scan dia membenarkan ada benjolan tapi jika itu tumor untuk orang lanjut usia, mama berumur 80 tahun sangat riskan diambil tindakan  pembedahan. 

Sambil cari info yang lain mama periksa gigi, mata dan akupuntur tetap belum ada perbaikan tetap sakit kepala.

Karena udah bingung cari info gimana lagi aku searching di google dokter bedah terbaik di Jakarta, muncul nama prof E di Karawaci. 
Waktu itu masa pandemi untuk ketemu dokternya ga mudah karena dia hanya melayani yang darurat. Aku wa an sama asisten dokter kirim ct scan minta opinion prof E. Akhirnya di bikin jadwal dan ketemulah dengan prof E. Begitu melihat ct scan yang aku bawa dan aku cerita dokter sebelumnya diagnosa tumor, prof E cuman bilang tidak semua yang benjol itu tumor atau kanker bisa jadi ini kelainan pembuluh darah berupa pembengkakan pembuluh darah. 
Mari kita buktikan dengan pemeriksaan radiologi lebih lanjut, mama periksa mri, mra dan cta. Setelah melihat hasilnya fix ini bukan tumor tapi aneurisma.

Pembuluh darah yang bengkak itu namanya aneurisma, sakitnya luar biasa, mama sering teriak klo lagi sakit. Klo menurut dokter A yang menangani operasi aneurisma mama, Jika dibuat skala satu sampai sepuluh,  sakit disebabkan aneurisma skala sembilan. Pantesan mama klo lagi kumat teriak2 kesakitan yang aku sendiri ngelihatnya ga tega, didepan mama menguatkan tapi dibelakang menangis sendiri.

Aneurisma ini sifatnya seperti bom waktu, bisa sewaktu-waktu pecah tanpa bisa diprediksi kapan waktunya. 
Itulah sebabnya ketika diagnosa aneurisma tidak ada jalan lain harus dioperasi agar jangan sampai pecah. 

Apa efek pecah? Tanyaku ke Prof E, dengan lugas ia menjawab, masih mending klo pecah langsung mati, enak ga masalah, yang ada malah banyak kejadian, pasien yang sudah pecah pembuluh darah hidupnya lebih banyak di ICU tidak sadarkan diri berbulan bulan bahkan tahunan. recovery saraf ini lama bertahun tahun.
Coba kita hitung2 dari segi biaya, tau sendiri khan berapa biaya di ICU apalagi ICU di RS swasta. Kita berhitung saja untuk operasi aneurisma kira2 habis berapa ratus juta, kemudian di ICU berapa hari untuk memulihkan kondisinya. Beda jika sudah pecah di ICU waktunya tidak bisa di prediksi, recovery yang lama menghabiskan biaya berkali lipat dari biaya operasi aneurisma. 

Penjelasan Prof E yang to the point sukses membuat kepalaku nyut2 ngilu membayangkannya.

Akhirnya setelah rembukan keluarga kita putuskan mama untuk operasi. 
Yang jadi pikiran umur mama yang sudah mendekati 80 risiko nya juga tinggi, sedangkan prof E menyarankan operasinya berbentuk klip yaitu membuka sayatan di kepala kemudian pembuluh darah yang bengkak itu di klip atau di tutup dengan alat agar tidak pecah. Disarankan metode ini karena hampir 90 persen metode ini berhasil karena langsung memotong atau memasang alat di batang aneurisma supaya tidak pecah. 

Terus terang kami sekeluarga ga berani, mengingat usia mama yang lanjut usia dan kami sudah melihat bagaimana mama pernah menjalani operasi besar tulang dua kali, berat memutuskan untuk operasi besar konvensional.

Second opinion kucari lagi, Aku menemui dr bedah syaraf yang dulu pernah kutemui, aku cerita klo hasil diagnosa aneurisma dan ketemu langsung dengan prof E. Dia menjelaskan Prof E ini memang sudah super pengalaman dalam hal bedah membedah syaraf. 
Jadi dia udah tau dengan segala risiko. 
Akhirnya aku disarankan ke RS pon RS khusus otak disana ada dr ahli aneurisma dan aku di kasih satu nama dr A, yang langsung ia telp.

Setelah ketemu dr A, aku cerita semuanya, dia juga paham dengan kekhawatiran ku, dan dia juga ga berani untuk operasi bedah kepala orang lanjut usia. Umur 80 itu badan udah seperti kaca yang gampang retak dan harus ekstra di jaga itu alasannya.

Akhirnya dr A menyarankan coiling.
Metode ini dikategorikan dengan metode DSA. Metode ini bukan seperti operasi bedah konvensional. Coiling dilakukan dengan cara membuat sayatan kecil di paha untuk memasukan kateter, dan kateter ini di gerakkan dengan mesin yang di dalamnya berisi coil atau kawat halus yang di gunakan untuk menambal pembuluh darah yang bengkak tersebut. Diharapkan tambalan ini akan menahan pembuluh darah agar tidak pecah. 

Masing masing metode mempunyai nilai plus dan minus, metode cooling ini risiko minim efek bedah tapi hasilnya tidak secepat dan setahan bedah konvensional. Coiling ini karena namanya tambalan tentu tidak sebagus yang ditutup paten prosesnya berlangsung lama, dan tidak bisa untuk jangka waktu lama. Kawat halus ini ketika dimasukan ke pembuluh darah untuk menyumbat tentu masih ada celah2 halus yang membuat darah tetap masuk ke daerah aneurisma, dengan waktu darah yang masih masuk ini akan mengeras bersama coil dan akan memadat hingga bisa menyumbat pembuluh darah. 

Kami memutuskan mama untuk coiling, sebelumnya nanya dulu ke mama dan aku pertemukan dengan dr A karena selama ini yang bolak balik konsul ke dr aku sendiri tanpa mama dengan pertimbangan lagi pandemi risiko bawa mama ke RS.

Melihat kondisi fisik mama secara langsung dan dr menguji mengenai ingatan mama, dr optimis mama bisa menjalani coiling. 
 
Bagaimana hasil yang didapat mama setelah coiling? Dari rata2 pasien yang telah melakukannya hasil yang didapat bagus.
Tapi karena mama lansia, yang kondisi badannya tidak seperti orang yang usia muda hasilnya tidak sama .  

Operasi mama berlangsung 5 jam, sedangkan rata2 pasien lain hanya berlangsung 30 menit. 

Saat gelisah dan hati ga tenang menunggu mama di ruangan tunggu operasi, yang duduk di sebelahku menanyakan, ibuk nunggu siapa? Aku cerita lagi nunggu mama yang operasi aneurisma. Wajahnya kaget dan langsung bilang ohh ini keluarga pasiennya. Saya dari alat kesehatan yang membawa cooling pesanan dr A katanya memperkenalkan diri. 
Langsung lah terjadi banyak percakapan dan aku bisa tau apa yang terjadi di dalam ruangan operasi karena dia online dengan orang yang berada di ruang operasi. Biasanya sebelum pandemi dia masuk ke ruangan operasi untuk menyiapkan alat yang diperlukan, karena pandemi di batasi orang di ruangan operasi.
Ternyata alat yang di bawa banyak satu koper. Karena pesanan sering berubah ketika operasi kadang butuh lebih banyak, butuh ukuran yang lebih besar dll. 

Operasi berjalan lama karena alat tidak bisa naik ke pembuluh darah atas, pembuluh darah mama sudah tidak elastis lagi dan mnempunyai banyak cabang yang berbelok2, jadi kateter susah untuk mencapai lokasi aneurisma. Disaat dokter sudah kepayahan dan mengatakan ini upaya terakhir karena pasien sudah lama dibius dan efeknya tidak baik, Alhamdulillah kateter bisa naik ke pembuluh darah yang di targetkan.

Setelah tau operasi telah berhasil, petugas alkes itu menatapku sambil mengelus punggungku dia mengatakan, Alhamdulillah operasi sudah selesai tapi nanti ibuk jangan kaget ya ada perubahan biaya yang sangat besar nanti dr akan menjelaskan. Aneurisma yang ukuran di cta bulan lalu hanya berapa mm sekarang telah mencapai cm jadi alat yang diperlukan lebih banyak, dan ukuran alat yang di pakai lebih besar tidak sesuai dengan yang di pesan. 
Aku hanya diam dan mengiyakan sambil berhitung berapa lagi tambahan yang dikenakan, tapi sudahlah itu nanti bisa dipikirkan yang penting sekarang mama bisa cepat siuman dan recovery lancar. 

Bersambung di postingan selanjutnya ya 😊

#30haribercerita