Dimulai akhir bulan Agustus dimana setiap pagi setelah olahraga super kilat aku ke icu rumah sakit membawa sarapan buat bestie. Biar bestie tetap mau makan selama menunggu suaminya di icu seorang diri. Sambil makan yang di paksakan kita saling bercerita di luar tentang kondisi sakit.
Kondisi suami yang mendadak ga sadar, yang selama ini ga pernah sakit berat, sedang jalan jalan keluar kota kumpul keluarga, merupakan pembuka cerita yang sangat menegangkan.
Progres kesehatan tiap hari yang semakin berat membuat hatiku juga semakin berat melihat sosok dia sebagai seorang istri dan ibu.
Dari hari pertama sampai hari ke tujuh dari tiap helaan nafas yang berat, dalam diam dan berkata yang keluar lebih banyak air mata, aku melihat suatu keadaan dimana ketidaksiapan dan menerima harus dilakukan saat itu juga mau tidak mau.
Aku tidak tau gimana dalam hatinya, yang kulihat dengan aktifnya dia mencari penguatan ruhiyah saat itu juga dengan segera, semua orang melihat ketegaran jiwanya. Berdiri tegak menyambut tamu, mencium jenazah sesudah dimandikan dengan senyuman dan duduk tenang sambil banyak berdoa ketika di pemakaman.
Aku sendiri masih meraba raba hikmah apa yang Allah berikan pada keluarga kecil ini, kepada kami sekomplek sebagai tetangga dan kepadaku sebagai teman yang kami sering bercerita berbagai hal.
"Saiki aku ra duwe bojo", itu kalimat pertamanya kepadaku di luar kamar jenazah.
Kalimat itu menyayat hatiku.
Resign dari karir yang bagus dan tempat kerja yang prestisius sesuai keinginan suami agar fokus mendidik anak. Keluar rumah diizikan hanya dalam radius 3 km membawa motor karena suami khawatir. Di apresiasi suami dengan memberikan segalanya baik materi dan waktu.
Ketika suami telah menjadi tumpuan segalanya, kalimat 'ra duwe bojo' adalah suatu perasaan kehilangan dan bertanya, trus aku harus bagaimana selanjutnya?
Pertanyaan itu aku jawab dengan pelukan erat dengan bersimbah airmata, dengan terbata aku katakan kamu masih punya Allah yang maha segalanya. Trust me.
Setelah kejadian itu aku mengalami suatu kondisi psikologis perasaan yang bermacam macam. Sedih, banyak pertanyaan salah satunya bagaimana jika itu terjadi pada saya? yang paling menyakitkan keimanan ku agak terguncang.
Padahal berapa hari setelah kejadian ini kami tetap taklim mingguan dengan niat sekalian takziah menghibur keluarga yang berduka.
Sudah jelas dan clear, ustadzah mengatakan rahimahullah biidznillah sudah mencapai kematian yang indah. Yang menjadi peer, kita yang sedang menunggu antrian ini akan berpulang seperti apa?
Entah kenapa hatiku secara keimanan tetap terguncang.
Aku ketakutan dengan yang namanya perasaan kehilangan.
Ternyata aku serapuh ini, walau bukan aku yang mengalami. Mengenal dekat keluarga ini seakan akan ini terjadi padaku.
Aku menguatkan dia
Aku memotivasi dia
Aku juga mengatakan
Sedih itu wajar
Menangis itu boleh
Apapun perasaan yang dialami saat ini jangan di tolak
Sampai aku lupa memperhatikan perasaanku sendiri
Alhamdulillah alla kulli hall
Pertolongan Allah dan waktu akan menyelesaikan ini semua dan ini menjadi bagian dari perjalanan rasa dalam episode kehidupan yang kualami.