Betapa seringnya saat ini kita dengar seminar, motivator, training bagaimana cara menjadi kaya. Apakah menjadi kaya sebegitu pentingnya??
Di salah satu bagian bukunya Faudzil Adhim (FA) menjelaskan dan meluruskan makna kekayaan yang sebenarnya.
"Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka (H.r. Bukhari dan Muslim)."
"Inilah hadis sahih tentang kemiskinan dan kekayaan. Inilah hadis yang membuat Abdurrahman bin Auf menangis tatkala ia menikmati roti yang lembut. Maka, masihkah engkau bersandar pada hadis kadal (Kadal fakru ayakuna kufran, "Hampir-hampir kefakiran itu mendekati kekafiran") yang sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran? Diriwayatkan dari hadis Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat Abu Bakar ath-Tharitsi dalam Musalsalat-nya : 127-131 dan hadisnya adalah maudhu' (palsu). Syeikh al-Albani men-dha'if-khannya dalam Takhrij Musykillah al-Faqr.
"Maka sesudah mengetahui rusaknya hadis ini sebagai dalil, tidak patut bagimu berhujjah dengan hadis ini dan menyebarkannya kepada manusia agar bergegas memburu kekayaan. Jika kita menyebarkannya karena tidak tahu, maka kita termasuk orang yang bodoh (semoga Allah Ta'ala ampuni kita). Tetapi jika kita telah mengetahui dan secara sengaja menyebarkannya, sungguh ini merupakan tindakan yang sangat berani dan menistakan kemuliaan Nabi."
"Sama kejinya dengan orang-orang yang berdusta atas nama Ali bin Ali Thalib r.a. tatkala menisbatkan perkataan ini kepadanya, "Seandainya kemiskinan itu berwujud manusia, niscaya aku yang akan membunuhnya."
"Jika engkau bertanya, bukankah Nabi Saw sangat kaya raya? Maka izinkan pula aku bertanya, apa yang bisa engkau katakan tentang keadaan manusia mulia ini tatkala wafat? Bukankah tatkala wafat baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi demi memperoleh 30 sha' gandum? Maka apakah engkau ingin menyembunyikan sejarah hanya karena ingin meraup harta yang banyak dari mereka yang terpukau kepadamu?."
"Mari kita kenang sejenak penuturan Zaid bin Tsabit, "Anas bin Malik, pelayan Rasulullah pernah memperlihatkan kepadaku tempat minum Rasulullah yang terbuat dari kayu yang keras yang dipatri dengan besi, lalu Anas berkata, 'Wahai Tsabit inilah tempat minum Rasulullah'." (H.r.Tirmidzi) "Dengan gelas kayu itulah Rasulullah minum air, perasan kurma, madu dan susu." (H.r. Tirmidzi dari Anas bin Malik)."
"Kita merindukan sosok semacam Abdurrahman bin Auf maupun Utsman bin Affan yang kaya raya. Tetapi mereka bukanlah orang yang haus harta dan sungguh bersyahwat terhadap dunia. Mereka kaya sebagai akibat. Bukan Tujuan. Ataukah kita sebut-sebut mereka hanya sebagai pembenar terhadap syahwat kita kepada kekayaan? Kita menyebut nama mereka, tetapi tidak meneladani kehidupan mereka. Kita berbincang apa yang bisa kita lakukan jika kaya raya, tetapi itu hanya sebagai pelengkap betapa manisnya kekayaan. Bukan karena merindukan amal saleh mereka."
"Pertanyaannya, bukankah ini pula yang telah menggelincirkan Qarun?."
Bergetar hati saya ketika membaca penjelasan ini, sengaja saya tulis ulang keseluruhan penjelasan dalam buku tersebut karena betapa saya juga telah salah memaknai kekayaan selama ini, hadis yang disebutkan palsu tersebut diatas sering saya jadikan alasan mengapa kita harus kaya.
Betapa ilmu dan meluruskan niat sangat penting sebagai dasar kita melakukan sesuatu hal.
Subhannallah semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan kebenaran dan menegur pada saat kita salah. Aamiin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Di salah satu bagian bukunya Faudzil Adhim (FA) menjelaskan dan meluruskan makna kekayaan yang sebenarnya.
"Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka (H.r. Bukhari dan Muslim)."
"Inilah hadis sahih tentang kemiskinan dan kekayaan. Inilah hadis yang membuat Abdurrahman bin Auf menangis tatkala ia menikmati roti yang lembut. Maka, masihkah engkau bersandar pada hadis kadal (Kadal fakru ayakuna kufran, "Hampir-hampir kefakiran itu mendekati kekafiran") yang sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran? Diriwayatkan dari hadis Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat Abu Bakar ath-Tharitsi dalam Musalsalat-nya : 127-131 dan hadisnya adalah maudhu' (palsu). Syeikh al-Albani men-dha'if-khannya dalam Takhrij Musykillah al-Faqr.
"Maka sesudah mengetahui rusaknya hadis ini sebagai dalil, tidak patut bagimu berhujjah dengan hadis ini dan menyebarkannya kepada manusia agar bergegas memburu kekayaan. Jika kita menyebarkannya karena tidak tahu, maka kita termasuk orang yang bodoh (semoga Allah Ta'ala ampuni kita). Tetapi jika kita telah mengetahui dan secara sengaja menyebarkannya, sungguh ini merupakan tindakan yang sangat berani dan menistakan kemuliaan Nabi."
"Sama kejinya dengan orang-orang yang berdusta atas nama Ali bin Ali Thalib r.a. tatkala menisbatkan perkataan ini kepadanya, "Seandainya kemiskinan itu berwujud manusia, niscaya aku yang akan membunuhnya."
"Jika engkau bertanya, bukankah Nabi Saw sangat kaya raya? Maka izinkan pula aku bertanya, apa yang bisa engkau katakan tentang keadaan manusia mulia ini tatkala wafat? Bukankah tatkala wafat baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi demi memperoleh 30 sha' gandum? Maka apakah engkau ingin menyembunyikan sejarah hanya karena ingin meraup harta yang banyak dari mereka yang terpukau kepadamu?."
"Mari kita kenang sejenak penuturan Zaid bin Tsabit, "Anas bin Malik, pelayan Rasulullah pernah memperlihatkan kepadaku tempat minum Rasulullah yang terbuat dari kayu yang keras yang dipatri dengan besi, lalu Anas berkata, 'Wahai Tsabit inilah tempat minum Rasulullah'." (H.r.Tirmidzi) "Dengan gelas kayu itulah Rasulullah minum air, perasan kurma, madu dan susu." (H.r. Tirmidzi dari Anas bin Malik)."
"Kita merindukan sosok semacam Abdurrahman bin Auf maupun Utsman bin Affan yang kaya raya. Tetapi mereka bukanlah orang yang haus harta dan sungguh bersyahwat terhadap dunia. Mereka kaya sebagai akibat. Bukan Tujuan. Ataukah kita sebut-sebut mereka hanya sebagai pembenar terhadap syahwat kita kepada kekayaan? Kita menyebut nama mereka, tetapi tidak meneladani kehidupan mereka. Kita berbincang apa yang bisa kita lakukan jika kaya raya, tetapi itu hanya sebagai pelengkap betapa manisnya kekayaan. Bukan karena merindukan amal saleh mereka."
"Pertanyaannya, bukankah ini pula yang telah menggelincirkan Qarun?."
Bergetar hati saya ketika membaca penjelasan ini, sengaja saya tulis ulang keseluruhan penjelasan dalam buku tersebut karena betapa saya juga telah salah memaknai kekayaan selama ini, hadis yang disebutkan palsu tersebut diatas sering saya jadikan alasan mengapa kita harus kaya.
Betapa ilmu dan meluruskan niat sangat penting sebagai dasar kita melakukan sesuatu hal.
Subhannallah semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan kebenaran dan menegur pada saat kita salah. Aamiin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®