Rumah saya sekitar 15
kilometer jaraknya dari tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Tapi
rasanya seperti hanya selemparan batu karena bau khas dari tempat tersebut
terasa dekat.
Sepuluh tahun lalu saat baru pindah ke Bekasi dan pertama kali
mencium bau khas tersebut saya sempat mencari dari mana asalnya kemudian saya
periksa halaman depan apakah ada sampah yang menumpuk. Ternyata semuanya bersih
kemudian saya bertanya kepada satpam komplek yang asli orang Bekasi dan dia
menjawab dengan santai bau itu berasal dari TPA Bantar Gebang. Jawabannya bikin
saya kaget karena sebelum beli rumah saya udah survei segala hal dan ternyata
ada yang terlewat. Setelah itu saya browsing tentang TPA Bantar Gebang,
hasilnya sungguh mengerikan dan membuat mual.
Dari sana saya kepikiran bagaimana
caranya agar bisa berkontribusi untuk mengurangi sampah. Sungguh TPA Bantar
Gebang itu sudah terlihat sebagai gunungan sampah raksasa. Awalnya karena masih
minim info saya hanya memisahkan sampah basah dan kering di tong sampah Ternyata
cara tersebut ga efektif karena sebelum diambil petugas sampah, pemulung lebih
dulu mengacak dan membuka sampah plastik. Walaupun ga di acak pemulung, sampah
ini begitu sampai TPA langsung dibuang apapun isinya apakah sisa makanan,
sampah medis atau hal yang berbahaya sekalipun akan mejadi satu di TPA.
Sekitar 4 tahun lalu saya membaca info tentang
mengompos dan bulan lalu saya mengikuti kelas
mengompos itu mudah. Pengomposan
menurut Wikipedia adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi. Sedangkan membuat kompos adalah suatu cara mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.
Manfaat dari mengompos
itu antara lain, mengurangi sampah ke TPA, menyuburkan tanah, mengurangi
penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berbahaya, mengurangi emisi gas
metana ysng di hasilkan dari TPA.
Mengompos itu mudah
karena tidak memerlukan banyak alat, yang penting syarat terjadinya proses
pengomposan terpenuhi. Ada banyak metode dalam mengompos tapi secara umum
terbagi dalam dua kelompok besar yaitu Aerob (melibatkan oksigen) dan Anaerob
(tanpa melibatkan oksigen).
Pada umumnya ibu rumah
tangga lebih memilih mengompos yang praktis, tidak bau, tidak menjijikkan dan
sederhana. Maka pilihan yang tepat adalah metode Aerob (melibatkan oksigen)
Metode Aerobik hanya
memerlukan wadah (pot/karung/ember,gerabah dll yang telah dilubangi di
bawahnya) yang dijual siap pakai pun ada seperti bisa di cek di toko online,
kresek/triplek untuk menutup wadah, tanah dan media tanam.
Cara membuatnya praktis,
wadah yang disiapkan beri lubang di bawah dan samping kemudian taburkan tanah
dan media tanam sebagai dasar setelah itu bisa langsung dimasukan sampah
organik, setelah banyak lapisi lagi dengan tanah/daun kering/sekam, tutup dan
dalam beberapa bulan bisa menghasilkan pupuk kompos yang bisa dipakai untuk
penyubur tanaman.
Setelah mencoba mengompos
4 tahun terakhir proses yang awalnya saya pikir ribet itu akhirnya
menyenangkan. Selain sampah terkelola dengan baik dan hasilnya bisa dipakai
untuk pupuk bagi tanaman dan terbukti tanaman saya sekarang jauh lebih subur
dari pada sebelumnya.
Untuk sampah anorganik
sebisa mungkin kita cegah atau kurangi pemakaiannya atau bisa kita olah agar
bisa di manfaatkan lagi. Dengan mengurangi sampah dan mengolah kembali sampah
organik kita sudah bisa mengurangi volume sampah yang dibuang. Jika dikerjakan
sendiri tentu efeknya tidak terasa tapi jika dikerjakan oleh setiap rumah pasti
dampaknya akan terasa.
Saya beruntung diberi
pengalaman hidup dengan bau sampah yang mampir kerumah dan pada akhirnya merubah pikiran
serta gaya hidup saya. Bagaimana dengan sebagian orang yang tidak merasakan ini
tentu mereka masih cuek saja membuang sampah dengan memasukan ke kresek diikat
dan beres toh ga ada efek langsung yang mereka rasakan.
Saya berusaha mengajak
teman serta tetangga di lingkungan terdekat untuk mengompos sampah. Kebanyakan
mereka menolak dengan berbagai macam alasan seperti jijik, takut bau, takut
belatung/cacing, ga sempat dsb. Saya akui emang awalnya susah untuk keluar dari
zona nyaman karena kita dari awal harus mau usaha untuk memisahkan sampah yang
bisa dikompos dengan yang tidak. Apabila cara yang digunakan sudah benar dan
kompos diaduk secara rutin bau yang ditimbukan bukan bau busuk seperti bau
busuk sampah tapi bau fermentasi seperti bau tape. Sedang belatung (maghot) yang mucul malah
bagus karena dia bertugas memakan sampah. Klo alasan ga sempat atau mager,
jangan sampai alam rusak kita kena imbasnya dan disitu kita baru sadar.
Menurut info dari
pengelola TPA Bantar Gebang (Sumber : detik.com) bahwa TPA Bantar Gebang akan
penuh pada tahun 2022, jika dipaksakan tetap menampung sampah mungkin akan
terjadi longsor dan berdampak buruk pada sekitar. Tekhnologi yang diharapkan
dapat mengurai sampah dengan menjadikan gas metana sebagai daya listrik sampai
saat ini masih menjadi pilot project.
Daripada menunggu solusi yang ada lebih baik kita mulai dari sekarang dengan mengolah sampah kita sendiri dengan mengompos. Walaupun dengan cara yang sederhana tapi jika dilakukan setiap rumah tangga pasti hasilnya akan kelihatan dan sampah akan jauh berkurang.
Berharap banyak kesadaran
individu yang timbul dalam mengelola sampah agar tercipta bumi yang sehat. Bumi
adalah tempat tinggal kita bersama. Bumi tanpa manusia tidak apa-apa tapi
manusia tanpa bumi,mau tinggal dimana?